Jika bepergian ke Jawa Tengah, tepatnya, kota Solo, kita akan menemukan sejumlah kios yang bertuliskan Sate Jamu. Istilah Sengsu juga menjadi nama yang banyak ditemukan jika kita berjalan-jalan ke daerah Yogyakarta. Kedua jenis makanan ini memang tak asing lagi bagi warga masyarakat yang berada di sekitar daerah tersebut.
Namun, tentunya amat asing bagi mereka yang belum pernah bepergian ke kedua kota tersebut. Sate jamu dan sengsu adalah istilah yang digunakan untuk makanan sate dan tongseng yang berasal dari daging anjing, bisa dikatakan sebagai makanan yang menjadi primadona bagi sebagian orang.
Pasalnya, mereka meyakini bahwa daging binatang bertaring dan berkuku tajam ini memiliki khasiat tertentu bagi tubuh. Bahkan ada pula yang meyakini dengan mengonsumsi daging tersebut, mampu menyembuhkan penyakit yang telah bertahun lamanya tak sembuh.
Ketua Yayasan Halalan Thayyiban, Farid Anshori, menuturkan bahwa sebenarnya istilah sate jamu ini berasal dari Manado yang penduduknya memang mayoritas nonmuslim. Namun pada akhirnya, jenis makanan ini pun berkembang di Jawa.
Hal yang perlu dikhawatirkan adalah jika masyarakat Muslim, khususnya, tak mengetahui apa sebenarnya sate jamu atau sengsu tersebut. Tanpa ragu dan meneliti lebih lanjut mereka langsung membeli dan mengonsumsinya. Apalagi bagi mereka yang selama ini tak memedulikan kehalalan makanan yang dikonsumsinya.
Ia menambahkan, nama makanan ini memang seakan melahirkan citra sebagai makanan kesehatan. Bahkan mereka yang telah mengonsumsinya, secara gamblang menyatakan bahwa sate ini mampu menyembuhkan penyakit kulit yang dideritanya selama bertahun-tahun.
Jika menilik komponen gizinya, daging anjing tidak berbeda jauh dengan daging ayam maupun sapi. Unsur utama yang terdapat pada ketiga daging tersebut adalah protein. ”Andaikata penjual sate jamu atau sengsu menyatakan bahwa makanan ini memiliki besar manfaat yang sangat besar, jelas itu omong kosong,” katanya kepada Republika di Bogor, beberapa waktu lalu.
Sebab, jika ditelisik lebih lanjut hewan ini memiliki penyakit yang sifatnya zoonosis atau penyakit yang mampu menular kepada manusia, yaitu penyakit rabies. Apalagi kalau ditinjau dari segi kehalalannya. Umat Islam tentunya telah mafhum bahwa daging anjing hukumnya adalah haram.
Nabi Muhammad SAW, melarang umatnya untuk mengonsumsi daging binatang buas, bertaring, dan berkuku tajam. Dan anjing termasuk jenis binatang yang bertaring dan berkuku tajam. Meski demikian, ada sinyalemen bahwa Muslim pun ada yang mengonsumsinya dan mempercayai khasiat yang ada pada daging binatang tersebut. Bahkan penjualnya pun tak jarang adalah seorang Muslim.
Farid menyatakan bahwa sate jamu dan sengsu merupakan fenomena kurang kritisnya masyarakat Muslim Indonesia terhadap makanan yang hukumnya haram. Jika masyarakat di sekitar daerah tersebut peduli akan kehalalan makanan, tentunya tidak mengizinkan berdirinya kios makanan yang jelas-jelas haram itu.
Selain itu, seharusnya tak ada pula Muslim yang telah mengetahui keharaman kedua jenis makanan itu kemudian membeli dan mengonsumsinya. Bagi mereka yang masih awam, juga mestinya berhati-hati dengan nama makanan yang belum mereka ketahui dengan jelas. Lebih baik menghindarkan makanan tersebut jika memang ragu.
Melihat kondisi masyarakat yang ada, tambah Farid, maka ulama sangat berperan untuk mendakwahkan pentingnya makanan halal dan bahaya makanan haram karena hal itu menyangkut keimanan seseorang. Di samping itu, ia juga berharap lembaga yang terkait dengan makanan haram seperti LPPOM MUI turut berperan serta. [Tim LP POM MUIhttp://www.halalguide.info/2009/03/30/sate-jamu-haram/]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar