Senin, 18 Januari 2010

Hukum Jadi PNS karena Suap

Assalamu'alaikum wr. wb.

Ustadz yang saya hormati,

Kenalan saya sekarang bekerja sebagai PNS. Dulunya ia lulus karena melakukan penyuapan. Sekarang ia sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Seperti kita ketahui, orang yang menyogok dan yang disogok adalah neraka untuknya. Bagaimana hukum atas pendapatan yang diperolehnya selama ini yang telah digunakannya untuk menafkahi keluarganya? Tolong dimuat ya Ustadz!

Wassalamu'alaikum wr. wb.

al-Qantani

Waalaikumussalam Wr Wb

Hukum Suap

Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr berkata,”Rasulullah saw telah melaknat orang yang memberi dan menerima suap.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Ibnul Arabi mengatakan bahwa suap adalah setiap harta yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kedudukan untuk membantu atau meluluskan persoalan yang tidak halal. Al murtasyi sebutan untuk orang yang menerima suap, ar rasyi sebutan untuk orang yang memberikan suap sedangkan ar ra’isy adalah perantaranya. (Fathul Bari juz V hal 246)

Al Qori mengatakan ar rasyi dan al murtasyi adalah orang yang memberi dan menerima suap, ia merupakan sarana untuk mencapai tujuan dengan bujukan (rayuan). Ada yang mengatakan bahwa suap adalah segala pemberian untuk membatalkan hak seseorang atau memberikan hak kepada orang yang salah. (Aunul Ma’bud juz IX hal 357)

Suap adalah pemberian seseorang yang tidak memiliki hak kepada seseorang yang memiliki kewenangan (jabatan), baik berupa uang, barang atau lainnya untuk membantu si pemberi mendapatkan sesuatu yang bukan haknya atau menzhalimi hak orang lainnya, seperti pemberian hadiah yang dilakukan seseorang agar dirinya diterima sebagai pegawai di suatu perusahaan / instansi, agar anaknya diterima di suatu sekolah favorit / perguruan tinggi, pemberian kepada seorang guru agar anaknya naik kelas, pemberian hadiah kepada seorang hakim agar dia terbebaskan dari hukuman dan lainnya, walaupun fakta yang ada sebenarnya mereka semua tidak berhak atau tidak memiliki persyaratan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dari pemberiannya tersebut.

Al Hafizh menyebutkan suatu riawayat dari Farrat bin Muslim, dia berkata,”Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz meninginginkan buah apel dan ia tidak mandapati sesuatu pun dirumahnya yang bisa digunakan untuk membelinya maka kami pun menungang kuda bersamanya. Kemudian dia disambut oleh para biarawan dengan piring-piring yang berisi apel. Umar bin Abdul Aziz mengambil salah satu apel dan menciumnya namun mengembalikannya ke piring tersebut. Aku pun bertanya kepadanya tentang hal itu. Maka dia berkata,”Aku tidak membutuhkannya.” Aku bertanya,”Bukankah Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar menerima hadiah?” dia menjawab,”Sesungguhnya ia bagi mereka semua adalah hadiah sedangkan bagi para pejabat setelah mereka adalah suap.” (Fathul Bari juz V hal 245 – 246)

Suap merupakan dosa besar sehingga Allah swt mengancam para pelakunya, baik yang memberikan maupun yang menerimanya dengan laknat atau dijauhkan dari rahmat-Nya bahkan , sebagaimana diriwayatkan oleh An Nasai dari Masruq berkata,”Apabila seorang hakim makan dari hadiah maka sesungguhnya dia telah memakan uang sogokan. Apabila dia menerima suap maka ia telah menghantarkannya kepada kekufuran.” Masruq mengatakan barangsiapa yang meminum khamr maka sungguh ia telah kufur dan kekufurannya adalah tidak diterima shalatnya selama 40 hari.

Namun apabila pemberian hadiah terpaksa dilakukan oleh seseorang kepada pejabat yang berwenang dalam permasalhannya untuk mendapatkan haknya atau menghilangkan kezhaliman atas dirinya maka hal ini dibolehkan bagi si pemberi dan diharamkan bagi si penerima.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa para ulama telah mengatakan, ”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali amri—orang yang diberikan tanggung jawab atas suatu urusan—untuk melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan atasnya adalah haram, baik bagi yang memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini adalah suap yang dilarang Nabi saw.

Adapun apabila orang itu memberikan hadiah kepadanya untuk menghentikan kezaliman terhadapnya atau untuk mendapatkan haknya maka hadiah ini haram bagi si penerima dan boleh bagi si pemberinya, sebagaimana sabda Nabi saw,”Sesungguhnya aku memberikan suatu pemberian kepada salah seorang dari mereka maka dia akan keluar dengan mengepit (diantara ketiaknya) api neraka. Beliau saw ditanya,”Wahai Rasulullah saw mengapa engkau memberikan kepada mereka? Beliau saw menjawab,”Mereka enggan kecuali dengan cara meminta kepadaku dan Allah tidak menginginkan kau berlaku pelit.” (Majmu’ Fatawa juz XXXI hal 161)

Perlakuan Terhadap Penghasilan dari Suap

Dikarenakan suap menyuap (sogok) adalah prilaku yang diharamkan maka penghasilan yang didapat pun bisa dikategorikan sebagai penghasilan yang haram. Didalam suap ini selain melanggar rambu-rambu Allah swt dalam mencari penghasilan, ia juga mengandung kezhaliman yang nyata terhadap orang-orang yang memiliki hak.

وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ


Artinya ; “dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.” (QS. Al Baqoroh : 188)

Imam al Qurthubi mengatakan,”Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim.” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz II hal 711)

Untuk itu bagi seorang muslim hendaklah mencari nafkah dengan cara-cara yang dibenarkan syariat sehingga setiap rupiah yang didapatnya mendapatkan berkah dari Allah swt.

Keberkahan seseorang tidaklah ditentukan dari banyak atau sedikitnya harta yang dimilikinya namun dari halal atau tidaknya harta tersebut. Seberapa pun harta yang dimiliki seseorang ketika memang itu semua didapat dengan cara-cara yang halal dan dibenarkan syariat maka didalam harta itu terdapat keberkahan dari Allah swt.

Adapun terhadap seseorang yang pernah melakukan atau bahkan terbiasa dengan praktek suap menyuap ini dan menjadikannya suatu penghasilan baginya dan untuk keluarganya, maka tidak ada kata lain baginya untuk segera melakukan hal-hal berikut :

1. Bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha.
Didalam praktek suap yang dilakukannya bukan hanya dosa terhadap seseorang namun juga ada dosa terhadap Allah swt, dan ini hanya bisa dimaafkan dengan jalan bertaubat yang sebenar-benarnya.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim : 8)

a. Meninggalkan kemaksiataan yang dilakukannya.
b. Menyesali perbuatannya.
c. Bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi selama-lamanya.

Adapun terhadap harta atau barang hasil suapnya dapat dibedakan menjadi :
Apabila harta suap itu didapat dengan cara menzhalimi orang yang memiliki hak untuk mendapatkan haknya, maka selain bertaubat orang itu harus melakukan hal-hal berikut :

2. Mengembalikan harta yang diambil dengan cara haram tersebut kepada pemberinya apabila ia masih hidup atau kepada ahli warisnya apabila ia sudah meninggal dunia, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Janganlah salah seorang diantara kamu mengambil barang saudaranya, baik dengan sungguh-sungguh atau main-main. Dan apabila salah seorang diantara kamu bermaksiat (mengambil barang) saudaranya maka dia harus mengembalikannya.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

3. Apabila harta yang diambil dari suap tersebut sudah bercampur dengan harta yang halal maka dia harus memisahkan diantara keduanya dengan cara memperkirakan berapa banyak harta yang diambil dengan cara suap tersebut dan mengembalikan kepada pemiliknya.

Didalam Fatawa Ibnu ash Sholah disebutkan,”Apabila dirham yang halal telah bercampur dengan beberapa dirham yang haram dan susah dibedakan maka caranya adalah dengan memisahkannya (memperkirakan) darinya yang haram dengan niat pemisahan kemudian mempergunakan sisanya yang halal.” (Buhuts wa Fatawa Islamiyah juz III hal 276)

4. Namun apabila pemilik harta tersebut (si pemberi) sudah susah dilacak begitu juga dengan para ahli warisnya sementara dia sudah berusaha sedemikian rupa sehingga hampir-hanpir putus asa maka dibolehkan baginya untuk menyedekahkannya atas nama si pemberi suap ke tempat-tempat yang baik seperti pembangunan masjid, rumah sakit, jembatan dan lainnya, walaupun orang yang memberikan itu bukan seorang muslim.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,”Apabila seseorang tidak mengetahui pemilik sebuah harta maka hendaklah dia menyerahkannya kepada tempat-tempat maslahat bagi kaum muslimin, demikian menurut jumhur ulama seperti Malik, Ahmad dan selainnya. Apabila ditangan seseorang terdapat harta dari cara yang batil, curang, titipan atau gadai sementara dia telah berputus asa dalam mengetahui pemiliknya maka hendaklah dia menyedekahkannya atas nama mereka (pemiliknya) atau menyerahkannya ke tempat-tempat maslahat kaum muslimin atau juga menyerahkannya kepada orang yang adil untuk menyerahkannya ke tempat-tempat maslahat kaum muslimin dan maslahat-maslahat keagamaan.”

Dia juga menambahkan bahwa sebagian tabi’in telah memberikan fatwa kepada orang yang mencuri harta rampasan perang kemudian dia bertaubat setelah orang-orang yang berhak mendapatkannya sudah terpencar maka hendaklah dia menyedekahkannya atas nama mereka, dan fatwa ini pun diterima oleh para sahabat dan tabi’in yang mendengarnya, seperti : Muawiyah dan yang lainnya dari penduduk Syam. (Majmu’ Fatawa juz XXIX hal 177)

Apabila harta suap itu diambil dari orang yang tidak memiliki hak mendapatkan apa yang mereka berdua sepakati dalam praktek suap dahulu maka hendaklah ia bertaubat dengan sebenar-benarnya dan tidak perlu mengembalikan harta atau barang suapnya itu kepada si pemberinya akan tetapi hendaklah dia menyedekahkannya ke tempat-tempat maslahat kaum muslimin.

Wallahu A’lam

sumber : http://eramuslim.com/ustadz-menjawab/penghasilan-hasil-suap.htm

Kamis, 31 Desember 2009

Sate Jamu, Haram!

Islam mengajarkan umatnya untuk hanya mengonsumsi makanan yang halal dan baik. Pasalnya, makanan bukan hanya sangat berpengaruh pada kesehatan tubuh, melainkan juga terhadap kejernihan hati seseorang. Tak ayal, seorang Muslim mesti selalu berlaku hati-hati terhadap segala jenis makanan. Apalagi dengan nama makanan yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

Jika bepergian ke Jawa Tengah, tepatnya, kota Solo, kita akan menemukan sejumlah kios yang bertuliskan Sate Jamu. Istilah Sengsu juga menjadi nama yang banyak ditemukan jika kita berjalan-jalan ke daerah Yogyakarta. Kedua jenis makanan ini memang tak asing lagi bagi warga masyarakat yang berada di sekitar daerah tersebut.

Namun, tentunya amat asing bagi mereka yang belum pernah bepergian ke kedua kota tersebut. Sate jamu dan sengsu adalah istilah yang digunakan untuk makanan sate dan tongseng yang berasal dari daging anjing, bisa dikatakan sebagai makanan yang menjadi primadona bagi sebagian orang.

Pasalnya, mereka meyakini bahwa daging binatang bertaring dan berkuku tajam ini memiliki khasiat tertentu bagi tubuh. Bahkan ada pula yang meyakini dengan mengonsumsi daging tersebut, mampu menyembuhkan penyakit yang telah bertahun lamanya tak sembuh.

Ketua Yayasan Halalan Thayyiban, Farid Anshori, menuturkan bahwa sebenarnya istilah sate jamu ini berasal dari Manado yang penduduknya memang mayoritas nonmuslim. Namun pada akhirnya, jenis makanan ini pun berkembang di Jawa.

Hal yang perlu dikhawatirkan adalah jika masyarakat Muslim, khususnya, tak mengetahui apa sebenarnya sate jamu atau sengsu tersebut. Tanpa ragu dan meneliti lebih lanjut mereka langsung membeli dan mengonsumsinya. Apalagi bagi mereka yang selama ini tak memedulikan kehalalan makanan yang dikonsumsinya.

Ia menambahkan, nama makanan ini memang seakan melahirkan citra sebagai makanan kesehatan. Bahkan mereka yang telah mengonsumsinya, secara gamblang menyatakan bahwa sate ini mampu menyembuhkan penyakit kulit yang dideritanya selama bertahun-tahun.

Jika menilik komponen gizinya, daging anjing tidak berbeda jauh dengan daging ayam maupun sapi. Unsur utama yang terdapat pada ketiga daging tersebut adalah protein. ”Andaikata penjual sate jamu atau sengsu menyatakan bahwa makanan ini memiliki besar manfaat yang sangat besar, jelas itu omong kosong,” katanya kepada Republika di Bogor, beberapa waktu lalu.

Sebab, jika ditelisik lebih lanjut hewan ini memiliki penyakit yang sifatnya zoonosis atau penyakit yang mampu menular kepada manusia, yaitu penyakit rabies. Apalagi kalau ditinjau dari segi kehalalannya. Umat Islam tentunya telah mafhum bahwa daging anjing hukumnya adalah haram.

Nabi Muhammad SAW, melarang umatnya untuk mengonsumsi daging binatang buas, bertaring, dan berkuku tajam. Dan anjing termasuk jenis binatang yang bertaring dan berkuku tajam. Meski demikian, ada sinyalemen bahwa Muslim pun ada yang mengonsumsinya dan mempercayai khasiat yang ada pada daging binatang tersebut. Bahkan penjualnya pun tak jarang adalah seorang Muslim.

Farid menyatakan bahwa sate jamu dan sengsu merupakan fenomena kurang kritisnya masyarakat Muslim Indonesia terhadap makanan yang hukumnya haram. Jika masyarakat di sekitar daerah tersebut peduli akan kehalalan makanan, tentunya tidak mengizinkan berdirinya kios makanan yang jelas-jelas haram itu.

Selain itu, seharusnya tak ada pula Muslim yang telah mengetahui keharaman kedua jenis makanan itu kemudian membeli dan mengonsumsinya. Bagi mereka yang masih awam, juga mestinya berhati-hati dengan nama makanan yang belum mereka ketahui dengan jelas. Lebih baik menghindarkan makanan tersebut jika memang ragu.

Melihat kondisi masyarakat yang ada, tambah Farid, maka ulama sangat berperan untuk mendakwahkan pentingnya makanan halal dan bahaya makanan haram karena hal itu menyangkut keimanan seseorang. Di samping itu, ia juga berharap lembaga yang terkait dengan makanan haram seperti LPPOM MUI turut berperan serta. [Tim LP POM MUIhttp://www.halalguide.info/2009/03/30/sate-jamu-haram/]

Jumat, 23 Oktober 2009

Dikubur 26 Tahun Jasad Masih Utuh Kain Kafan Sang Kiai Utuh & Harum Baunya

Tiga bak berisi air dan potongan kayu ukuran 70 cm x 30 cm telah disiapkan anak-anak Almarhum KH. Abdullah. Saat itu, Minggu 2 Agustus 2009, makam Kiai Abdullah akan dipindahkan lantaran di lokasi itu terkena proyek pelebaran Jalan Benda, Batu Ceper,Tangerang, yang mengarah ke Bandara Soekarno Hatta, Jakarta. Air yang ada di dalam bak itu rencananya akan digunakan untuk mencuci tulang belulang sebelum dipindahkan ke lokasi pemakaman yang baru. Sementara potongan kayu sengon sebanyak 9 potong diperuntukkan sebagai dinding pembatas jenazah di dalam liang lahat.
Namun semua perlengkapan itu akhirnya tidak terpakai. Soalnya, ketika makam yang berusia 26 tahun digali, pemandangan aneh terjadi. Jasad Kiai Abdullah ternyata masih utuh. Begitu juga dengan kain kafan dan kayu penutup jenazah. Tidak ada tanda-tanda bekas gigitan rayap atau binatang tanah di kafan maupun di kayu kamper tersebut. Kondisi jenazah hampir sama seperti saat dikuburkan, 22 Oktober 1983 silam. Hanya tubuhnya agak menyusut saja, dan rambutnya memutih, jenazah juga beraroma harum yang menyerbak. Teriakan takbir pun langsung terdengar dari orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut.
Sepanjang hidupnya, Kiai Abdullah banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan mengajar agama. Menurut Achmad Fathi, putra Kiai Abdullah, sewaktu muda Kiai Abdullah sempat dibimbing Kiai Mursan, seorang ulama yang tinggal di kampung Blenduk, Batu Ceper, Tangerang, yang letaknya sekitar 2 kilometer dari kediamannya. Setelah 5 tahun menuntut ilmu di Kiai Mursan, pria kelahiran 16 Desember 1919 itu kemudian diperintah KH Marsan untuk menambah ilmu di Darul Ulum, Mekkah, Arab Saudi. Di sana ia belajar selama kurang lebih 7 tahun. Kiai Abdullah akhirnya pulang ke tanah air setelah gurunya, Syekh Yasin, asal Padang, Sumatera Barat, memintanya pulang ke Indonesia, untuk menularkan ilmunya kepada masyarakat, khususnya di wilayah Batu Ceper, Tangerang.
Sesuai perintah gurunya, Kiai Abdullah kemudian mulai memberikan pengajian di sekitar rumahnya. Sistem pengajaran yang dilakukan Kiai Abdullah bukan model pesantren melainkan berbentuk majelis. Lokasi pengajian dilakukan di Musala An-Najat sejak beduk Magrib hingga jam sembilan malam. Usai pengajian, biasanya murid-murid bermalam di musala dan pulang selepas salat Subuh berjamaah. Materi pengajian yang diajarkan Kiai Abdullah berupa ilmu Fiqih (hukum) maupun tafsir Al Quran. Adapun kitab-kitab yang diajarjakan, antara lain, Jurmiyah, Nahwu, Shorof, Fathul Qorib, Fathul Muin, maupun tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaludin As-Suyiti.
Saat mengajar, sang kiai dikenal sangat tegas. Namun meski dikenal galak dalam mengajar, murid-muridnya justru semakin hari semakin bertambah. Mereka umumnya datang dari daerah Batu Ceper dan wilayah Tanggerang. Selain mengajarkan ilmu agama, Kiai Abdullah juga mengajarkan murid-muridnya cara bercocok tanam. Saat siang hari biasanya murid-muridnya bekerja di sawah maupun kebun pepaya milik Abdullah.
Kesolehan dan ilmu yang mumpuni yang dimiliki Kiai Abdullah lama-lama tersiar ke seantero Tangerang. Itu sebabnya, Pemda Tangerang pada tahun 1973 memintanya untuk menjadi Wakil Ketua Pengadilan Agama Tengerang. Namun sekalipun telah bekerja di pemerintahan, sikap sederhana dan rendah hati tetap melekat dalam diri Kiai Abdullah. Setiap bekerja ia hanya menggunakan sepeda ontel. Jarak antara rumahnya ke Pengadilan Agama Tangerang berjarak sekitar 10 kilometer.
Selama hidup Kiai Abdullah memiliki tiga orang istri, yakni Rohani, Maswani, dan Romlah. Ia pertama menikah dengan Rohani, yang merupakan putri gurunya, KH Mursan, sekitar tahun 1945. Dari pernikahannya dengan Rohani, dikarunia dua orang anak. Namun tidak lama setelah melahirkan anak kedua, Rohani meninggal duniaSelang dua tahun kemudian Kiai Abdullah menikah lagi dengan Maswani, yang merupakan tetangga rumahnya. Dari Maswani, Kiai Abdullah dikaruniai 5 orang anak. Dan lagi-lagi istri keduanya ternyata pergi menghadap Sang Pencipta lebih dulu darinya. Maswani wafat tahun 1980.
Setelah kematian istri keduanya Kiai Abdullah sebenarnya tidak mau menikah lagi. Namun karena desakan anak-anaknya, ia akhirnya menikah dengan Romlah, warga tetangga Desa Juru Mudi. Namun dari pernikahannya dengan Romlah, Kiai Abdullah tidak dikaruniai anak hingga ia wafat pada 22 Oktober 1983. Kiai Abdullah meninggal dunia lantaran penyakit ginjal yang dideritanya. Sebelum meninggal ia sempat dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.
Kiai Abdullah dimakamkan di belakang musala An-Najat berdasarkan wasiat yang disampaikannya kepada anaknya, Mukhtar sebelum meninggal. Sang kiai beralasan ingin dikubur di sana mengingat musala itu merupakan tempat perjuangannya pertama kali di dunia dakwah. Musala tempatnya pertama kali mengajar seakan menjadi kenangan sendiri bagi Abdullah. Meskipun ia sebenarnya juga telah mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang diberi nama Islahuddiniyah, sejak tahun 1970-an. Lokasi madrasah itu persis berada di depan rumah Kiai Abdullah.


Beberapa warga menuturkan, sebelum proses pemindahan jenazah, sebenarnya tanda-tanda keanehan sudah muncul terkait rencana pemindahan makam tersebut. Sebab saat alat berat ingin menghancurkan musala yang dibangun Kiai Abdullah tahun 1950-an dan bangunan makam, tidak bisa berfungsi. Beberapa kali alat pengeruk dari mobil beko patah ujung kukunya. Karena kejadian itu, pihak kontraktor pelebaran jalan menunda pembongkaran yang rencananya akan dilakukan pada Januari 2009 itu. Pembongkaran baru bisa dilanjutkan awal Agustus setelah ada kesepakatan dengan keluarga. Salah satunya soal cara pembongkaran musala dan makam itu, yakni dengan hanya menggunakan palu dan linggis. Bukan pakai alat berat.
Tanah yang akan digusur dihargai Rp 500 ribu per meter. Harga itu belum termasuk bangunan yang akan dibongkar. Tapi keluarga Kiai Abdullah menolak pemberian uang pengganti. Pasalnya tanah tempat musala dan makam itu merupakan tanah wakaf yang tidak boleh diperjualbelikan. Pihak keluarga hanya meminta Pemkot membangun kembali musala di sekitar wilayah Juru Mudi, supaya warga setempat mudah kalau ingin beribadah.
Kini jenazah Kiai Abdullah dimakamkan di depan pekarangan rumah Achmad Fathi, yang berjarak hanya 15 meter dari lokasi pemakaman sebelumnya. Di areal pemakaman baru itu terdapat tiga makam, yakni makam KH Abudullah bin Mukmin, makam istri keduanya Maswani, serta makam putra keduanya yang bernama M Syurur.
Soal utuhnya jasad Kiai Abdulah setelah dikubur selama 26 tahun dikatakan salah seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Said Budairy sebagai karunia Allah. Menurutnya, jenazah itu dilindungi oleh Allah. Biasanya yang jasadnya seperti itu adalah orang-orang yang hafidz Alquran dan alim. Untuk melihat kealiman si jenazah bisa dilihat dari perjalanan hidup almarhum.
Sementara Agus Hendratno, anggota Ikatan Ahli Geologi Yogyakarta mengatakan, dari teori geologi, memang bisa saja jasad manusia yang dikubur akan tetap utuh. Penyebabnya mungkin saja di dalam tanah itu tidak terdapat hewan organik yang bisa mengubah jasad manusia, seperti kulit dan daging menjadi tanah. Menurut Agus, dalam peristiwa utuhnya jenazah Kiai Abdullah mungkin saja bisa disebabkan di liang lahat tidak terdapat hewan organik. Tapi bila lokasi tanah yang berair dan lembab seperti di wilayah Batu Ceper, yang dikenal dahulunya merupakan daerah rawa-rawa, teori itu terbantahkan. Dengan kata lain Agus berpendapat jika peristiwa utuhnya jenazah Kiai Abdullah sangat unik dan di luar kebiasaan.

http://www.detiknews.com/read/2009/08/21/153630/1187279/159/kain-kafan-sang-kiai-utuh-harum-baunya

Mengapa Manusia Memilih Kehidupan Fana?

Bagaimana memaknai kehidupan? Bagaimana manusia harus mensikapi kehidupannya? Kehidupan dalam Islam, bukanlah rentang waktu yang pendek, yang digambarkan usia seseorang. Kehidupan menurut pandangan Islam adalah kehidupan di segala masanya, yakni kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat. Masa dalam kehidupan dunia berbanding jauh dengan kehidupan akhirat. Ia bagaikan hanya satu jam di tengah hari. Luas surga dalam kehidupan akhirat sebanding dengan langit dan bumi dalam kehidupan manusia. Sedangkan neraka dalam kehidupan akhirat mampu menampung seluruh orang kafir dalam seluruh masa. Suasana yang ada dalam kehidupan akhirat tidak akan bisa dirasakan dan disamakan dengan suasana yang ada dalam kehidupan dunia.

Allah Ta’ala telah mendiskripsikan dengan jelas tentang kehidupan akhirat dalam al-Qur’an dengan berbagai karakteristik yang dimilikinya, hingga tampak jelas hakikatnya bagi siapa saja yang ingin mempelajarinya. Tapi, banyak manusia yang tidak mau memilih kehidupan yang lebih nyata, dan kekal, tapi manusia lebih memilih kehidupan yang fana, yaitu dunia. Allah Ta’ala berfirman : “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui”. (al-Ankabut :64)

Kisah indah digambarkan dalam kehidupan seorang sahabat, yaitu Hasan al-Basri, yang sangat zuhud terhadap dunia. Al-Basri tidak pernah terkena tipu daya dunia. Hidupnya jauh dari perbuatan durhaka, dan senantiasa diliputi ibadah kepada Rabbnya. Ia tinggalkan kehidupan dunia, yang melalaikan, dan hanya tipu daya belaka. Hasan al-Basri, benar-benar seorang, yang senantiasa dirinya terikat dengan akhirat. Jalan hidupnya penuh dengan ketaqwaan. Ia tidak ingin mengotori dengan pernak-pernik kenikmatan yang menipu, dan membuatnya terjatuh dalam murka-Nya.

Ketika Hasan al-Basri sedang sakit, saudara-saudaranya dan teman-temannya yang menjenguk merasa heran. Karena mereka tidak mendapati apa-apa dirumahnya, tidak ada tikar ataupun selimut, kecuali tempat tidur yang tidak ada apa-apanya. Hasan al-Basri rahimahullah adalah seorang ustadz (guru) dalam kewara’an. Dia mencari tingkat yang luhur dan menjauhkan dirinya dari hal-hal yang mengotorinya.

Alangkah indahnya hidup yang menahan diri dari selera nafsu dan beraneka ragam kenikmatan dunia.
Sementara, tak sedikit manusia yang binasa lantaran memperturutkan hawa nafsunya. Hasan al-Basri menjauhi hawa nafsu yang menyukai segala Sesutu, nafsu yang cenderung kepada aneka kesenangannya yang dapa merusaknya. Kewara’an Hasan al-Basri sampai ke tingkat ia tidak mengambil gaji dalam tugasnya dibidang peradilan. Tatkala Addi bin Arthat, seorang pejabat Iraq, memberinya uang sebesar 200 dirham, ia menolaknya. Addi mengira pemberian uang itu dianggap kurang oleh Hasan al-Basri. Karena itu, ia menambahnya. Namun, Hasan al-Basri tetap menolaknya. Al-Basri berujar : “Aku menolaknya bukan karena aku memandang uang itu sedikit. Aku menolaknya karena tidak mau mengambil upah dalam memutuskan hukum”, tegas al-Basri.

Tidak ada lagi di zaman sekarang manusia yang memiliki sikap hidup seperti Hasan al-Basri, yang zuhud terhadap kehidupan dunia. Manusia modern di saat sekarang ini, justru mengagungkan dan memuja kehidupan dunia, yang tidak ada artinya apa-apa dibandingkan kehidupan di akhirat nanti.

Wallahu ‘alam.

Sahur dan Berbuka Puasa Menurut Sunnah Rosulullah


SAHUR
1. Hikmahnya
Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, Allah berfirman (yang artinya): "Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa." (QS Al Baqarah: 183).
Waktu dan hukum yang diwajibkan atas Ahlul Kitab adalahi tidak boleh makan, minum, dan jima’ setelah tidur, artinya jika tertidur, maka tidak boleh makan sampai malam berikutnya. Hal itu ditetapkan juga untuk kaum muslimin, sebagaimana telah dijelaskan. Maka ketika hukum tersebut dihapuskan, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya makan sahur untuk membedakannya dengan puasa Ahlul Kitab.
Dari ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab adalah makan sahur." (HR Muslim 1096).
2. Keutamaannya
a. Sahur Barokah
Dari Salman radhiyallahu ‘anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Barokah ada pada tiga perkara: Jama’ah, Tsarid, dan makan sahur." (HR Thabrani, Abu Nu’aim).
Dari Abdullah bin Al Harits dari seorang shahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: Aku masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika dia makan sahur, beliau berkata, "Sesungguhnya makan sahur adalah barokah yang Allah berikan pada kalian maka janganlah kalian tinggalkan." (HR An Nasaa`i dan Ahmad).
Keberadaan sahur sebagai barokah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menumbuhkan semangat serta meringankan beban yang berat bagi yang berpuasa, dalam makan sahur juga menyelisihi Ahlul Kitab karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamainya makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al Irbadh bin Sariyah dan Abi Darda` radhiyallahu ‘anhuma, "Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur."
b. Allah dan MalaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Sahur itu makanan yang barokah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur."

Oleh sebab itu, seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang mukmin yang paling afdhal adalah korma.
Bersabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), "Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma." (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban, Baihaqi).

Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk sahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena fadhilah (keutamaan) yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), "Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air."

3. Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit untuk sholat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.
Anas radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, "Kami makan sahur bersama Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat, aku tanyakan (kata Anas): Berapa lama jarak antara adzan dan sahur? Beliau menjawab, "Kira-kira 50 ayat membaca Al Qur’an." (HR Bukhari Muslim).
4. Hukumnya

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya -dengan perintah yang sangat ditekankan. Beliau bersabda (yang artinya), "Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu." (HR Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu Ya’la, Al Bazzar). Dan bersabda (yang artinya), "Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barokah." (HR Bukhari Muslim).
Perintah nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi:
  • Perintah untuk makan sahur.
  • Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pembeda antara puasa kita dan puasa ahlul kitab.
  • Larangan meninggalkan sahur.
Inilah qarinah yang kuat dan dalil yang jelas. Walaupun demikian, Al Hafizh Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari (4/139) ijma’ atas sunnahnya. Wallahu a’lam.


BERBUKA
1. Kapan orang yang berpuasa berbuka?

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), "Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam."
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkannya dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari.
Syaikh Abdur Razzaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf (7591) dengan sanad yang dishahihkan oleh Al Hafizh dalam Fathul Bari (4/199) dan Al Haitsami dalam Majma Zawaid (3/154) dari Amr bin Maimun Al Audi, "Para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka puasa dan paling lambat dalam sahur."
2. Menyegerakan berbuka
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau mengikuti sunnah Rosulmu shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menyelisihi Yahudi dan Nashara, karena mereka mengakhirkan berbuka hingga terbitnya bintang.
  1. Menyegerakan berbuka menghasilkan kebaikan. Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Manusia akan terus dalam kebaikan selama menyegerakan buka." (HR Bukhari dan Muslim).
  2. Menyegerakan buka adalah sunnah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda(yang artinya), "Umatku akan terus dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)." (HR Ibnu Hibban).
  3. Menyegerakan buka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashara. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Agama ini akan terus jaya selama menyegerakan buka, karena orang Yahudi dan Nashara mengakhirkannya." (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban).
  4. Berbuka sebelum shalat maghrib. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka sebelum shalat maghrib (HR Ahmad, Abu Dawud), karena menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya para Nabi. Dari Abu Darda` radhiyallahu ‘anhu, "Tiga perkara yang merupakan akhlak para nabi: menyegerakan buka, mengakhirkan sahur, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat." (HR Thabrani).
3. Berbuka dengan apa?
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berbuka dengan kurma, kalau tidak ada dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman (yang artinya), "Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari bangsa kamu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan kebahagiaanmu), terhadap orang-orang mukmin ia amat pengasih lagi penyayang." (QS At Taubah: 128).
Dengan memberi sesuatu yang manis (kurma) pada perut yang kosong, maka tubuh akan lebih siap menerima dan mendapatkan manfaatnya, terutama tubuh yang sehat, akan bertambah kuat dengannya. Dan bahwasanya puasa itu menghasilkan keringnya tubuh, maka air akan membasahinya, hingga sempurnalah manfaat makanan.
Dan ketahuilah, bahwa kurma itu memiliki barakah dan kekhususan -demikian pula air- memiliki efek yang positif terhadap hati dan mensucikannya, tiada yang mengetahuinya, kecuali orang-orang yang ittiba’ / mengikuti.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, "Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat, jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma, beliau minum dengan satu tegukan air." (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah).

4. Apa yang Diucapkan ketika Berbuka?

Ketahuilah saudaraku yang berpuasa -semoga Allah memberikan taufik kepada kami dan Anda untuk selalu mengikuti sunnah Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sungguh engkau memiliki do’a yang mustajab, maka ambillah kesempatan itu dan berdo’alah kepada Allah sedang engkau merasa yakin akan dikabulkan -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan do’a dari hati yang lalai lagi main-main- berdo’alah kepadaNya sesuatu yang engkau inginkan dengan do’a-do’a yang baik, semoga engkau mendapatkan dua kebaikan di dunia dan akhirat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Ada tiga orang yang tidak akan tertolak do’a mereka: seorang yang puasa ketika sedang berbuka, seorang imam yang adil, dan do’a seorang yang terzholimi." (HR Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban).
Dan dari Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash berkata, Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Sungguh bagi orang yang berpuasa itu memiliki do’a yang tidak akan tertolak ketika berhias." (HR Ibnu Majah, Al Hakim).
5. Memberi Makan Orang yang Berpuasa
Dan hendaklah engkau bersemangat, wahai saudaraku -semoga Allah memberi berkah dan taufikNya kepadamu sehingga mampu mengamalkan kebaikan dan ketaqwaan- (yaitu) bila engkau memberi makan kepada orang puasa, maka padanya terdapat pahala yang agung serta kebaikan yang melimpah ruah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Barangsiapa memberi makan seorang yang berpuasa, ia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahalanya." (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Dan apabila seorang muslim yang sedang berpuasa diundang makan, wajib baginya untuk memenuhi undangan tersebut. Karena barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia telah mendurhakai Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan disukai bagi yang diundang (makan) untuk mendo’akan kebaikan kepada si pengundang setelah selesai makan, sebagaimana telah datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam do’a yang bermacam-macam, di antaranya:
"Orang-orang yang baik telah makan makananmu dan para malaikat telah bershalawat kepadamu serta orang-orang yang berpuasa telah berbuka di rumahmu." (HR Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, An Nasa`i, dan yang lainnya).

"Ya Allah, berilah makan orang yang telah memberi makan kepadaku dan berilah minum orang yang telah memberi minum kepadaku." (HR Muslim dari Al Miqdad).

"Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah terhadap apa yang telah Engkau rizkikan kepada mereka." (HR Muslim dari Abdullah bin Busr).
Judul Asli:
"Sahur dan Berbuka Puasa Menurut Sunnah Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam"
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’
Edisi ke-1 Tahun ke-2 / 14 November 2003 M / 19 Ramadhan 1424 H

Buku Putih Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah semata. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.

Dari dulu hingga sekarang, perdebatan serta perbincangan seputar Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah dan jalan dakwahnya, terus berkecamuk antara mereka yang pro dan yang kontra. Dan yang mengherankan dari dakwaan mereka yang kontra -yang melontarkan tuduhan-tuduhan kepada Syaikh- adalah: omongan mereka yang kosong dari dalil berupa bukti dari perkataan Syaikh atau tulisan beliau di dalam kitab-kitabnya, yang ada hanyalah tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang terdahulu, lalu ‘difotokopi’ oleh para pewaris mereka.

Kami kira setiap orang yang obyektif sepakat bahwa jalan yang paling tepat untuk mengenal hakikat pemikiran seseorang adalah dengan cara kembali langsung kepada orang tersebut atau kepada referensi-referensi yang otentik.

Alhamdulillah tulisan-tulisan serta ucapan-ucapan Syaikh (Muhammad bin Abdul Wahhab -ed) sampai saat ini masih ada dan mudah untuk didapatkan. Dengan menelaah tulisan-tulisan tersebut, benar tidaknya isu-isu yang sementara ini tersebar di masyarakat akan terlihat. Adapun tuduhan-tuduhan yang tanpa bukti, maka ini bagaikan fatamorgana yang tidak ada hakikatnya.

Di tulisan ini, kami akan memaparkan ucapan-ucapan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang kami nukil dengan penuh amanah dari referensi-referensi otentik yang menghimpun perkataan-perkataan beliau. Peran kami dalam buku ini hanyalah sebagai penyusun. Buku ini memuat jawaban-jawaban Syaikh sendiri, atas tuduhan-tuduhan utama yang dilontarkan ‘para lawan’ dakwah beliau. Kami amat yakin insya Allah dengan taufik dari Allah, tulisan ini akan cukup untuk menjelaskan al-Haq bagi mereka yang memang menginginkannya.

Adapun mereka yang memusuhi dan menentang perjuangannya, yang tidak henti-hentinya menebarkan tuduhan-tuduhan dusta, maka kami katakan kepada mereka: ‘Sadarlah, karena sesungguhnya kebenaran telah jelas, agama Allah ta’ala akan menang dan cahaya matahari yang bersinar terang tidak bisa dihalangi dengan kedua telapak tangan.’

Perkataan-perkataan beliau dalam buku ini meluluhlantakkan tuduhan-tuduhan mereka. Jika mereka memiliki bukti dari perkataan beliau yang menguatkan tuduhan tersebut maka keluarkanlah dan jangan disembunyikan. Jika mereka tidak bisa mendatangkannya, maka kami menasihatkan, “Telusurilah jalan Allah ta’ala dengan hati yang bersih dari hawa nafsu dan kefanatikan terhadap suatu golongan. Mohonlah kepada-Nya agar Dia menunjukkan kebenaran lalu ikutilah kebenaran itu.

Perhatikanlah perkataan-perkataan beliau, kemudian renungkanlah; apakah beliau datang membawa ajaran baru yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah?.Kemudian renungkan kembali: Adakah jalan keselamatan selain dengan mengucapkan kebenaran serta membenarkannya? Jika telah datang kebenaran kepadamu maka terimalah dan ikutilah kebenaran tersebut; karena yang demikian lebih baik dari pada bersikeras dalam kebatilan.

Hanya kepada Allah-lah semuanya akan kembali…


Hakikat Dakwah Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab

Alangkah baiknya kami paparkan terlebih dahulu penjelasan singkat tentang hakikat dakwah yang beliau serukan. Karena hingga saat ini ‘para musuh’ dakwah beliau masih terus membangun dinding tebal di hadapan orang-orang awam, sehingga mereka terhalang untuk melihat hakikat dakwah sebenarnya yang diusung oleh beliau.

Syaikh berkata,

“Segala puji dan karunia dari Allah, serta kekuatan hanyalah bersumber dari-Nya. Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan hidayah kepadaku untuk menempuh jalan lurus, yaitu agama yang benar; agama Nabi Ibrahim yang lurus, dan Nabi Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik. Alhamdulillah aku bukanlah orang yang mengajak kepada ajaran sufi, ajaran imam tertentu yang aku agungkan atau ajaran orang filsafat.

Akan tetapi aku mengajak kepada Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan mengajak kepada sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diwasiatkan kepada seluruh umatnya. Aku berharap untuk tidak menolak kebenaran jika datang kepadaku. Bahkan aku jadikan Allah, para malaikat-Nya serta seluruh makhluk-Nya sebagai saksi bahwa jika datang kepada kami kebenaran darimu maka aku akan menerimanya dengan lapang dada. Lalu akan kubuang jauh-jauh semua yang menyelisihinya walaupun itu perkataan Imamku, kecuali perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau tidak pernah menyampaikan selain kebenaran.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/37-38).

“Alhamdulillah, aku termasuk orang yang senantiasa berusaha mengikuti dalil, bukan orang yang mengada-adakan hal yang baru dalam agama.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: V/36).


“Dan yang aku dakwahkan sebenarnya adalah: Kita tidak boleh menyembah kecuali hanya Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman-Nya,

فَلا تَدْعُو مَعَ اللَّهِ أَحَداً

“Maka kamu janganlah menyembah seorang pun di samping menyembah Allah.” (QS. Al-Jin: 18)


Allah ta’ala juga memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

قُلْ إِنِّي لا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرّاً وَلا رَشَداً

“Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak ( pula)kuasa memberikan suatu kemanfaatan.” (QS. Al-Jin: 21)


Inilah firman Allah ta’ala yang telah disampaikan dan diwasiatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita… Inilah yang akan menjadi hakim antara kalian dan diriku. Jika kalian mendengar tentang dakwahku selain yang kukatakan tadi, maka ketahuilah bahwa hal itu adalah dusta.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/90-91).


Poin Pertama: Keyakinan Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab Tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di antara tuduhan besar yang dilontarkan ‘musuh-musuh’ dakwah Syaikh kepada beliau dalam masalah ini adalah:

1. Beliau dituduh tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup Para Nabi dan Rasul.

Demikianlah tuduhan yang tersebar, padahal semua kitab karangan beliau telah membuktikan dustanya tuduhan ini. Di antara perkataan beliau yang membantah tuduhan tersebut:


“Aku beriman bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup Para Nabi dan Rasul. Keimanan seseorang tidak dianggap sah hingga dia beriman dengan kenabian dan kerasulannya.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/32).


“Orang yang paling bahagia, paling besar kenikmatannya dan paling tinggi derajatnya adalah orang yang paling setia mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengamalkan ajaran beliau.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/21).


2. Beliau dituduh tidak memenuhi hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tidak memosisikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana mestinya.

Untuk menjelaskan hakikat tuduhan ini, kami akan kutip perkataan Syaikh yang menjelaskan keyakinan beliau tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata, “Ketika Allah ta’ala berkehendak untuk menampakkan Tauhid dan menyempurnakan agama-Nya di atas muka bumi, serta meninggikan kalimat Allah dan merendahkan kalimat orang-orang kafir; maka Allah ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para rasul dan kekasih Rabb alam semesta. Beliau senantiasa dikenal setiap masa, bahkan disebutkan pula dalam kitab Taurat Nabi Musa ‘alaihis salam dan kitab Injil Nabi Isa ‘alaihis salam. Hingga Allah ta’ala memunculkan mutiara tersebut di antara kabilah Bani Kinanah dan Bani Zahrah. Allah mengutus beliau di masa-masa terputusnya (pengiriman) rasul-rasul, lalu menunjukinya jalan yang lurus.

Sebelum beliau diutus menjadi Rasul, telah tampak pada dirinya tanda-tanda kenabian yang tidak bisa ditiru oleh siapapun yang hidup di zamannya. Allah ta’ala menumbuhkan beliau dengan sebaik-baiknya hingga menjadi orang yang paling mulia akhlaknya, paling tinggi budi pekertinya, paling tangguh kesabarannya, paling baik dengan para tetangganya, serta paling jujur tutur katanya, sehingga kaumnya menjulukinya sebagai al-amin (yang dipercaya); karena di dalam pribadinya terdapat perilaku yang baik dan sifat-sifat yang terpuji.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/90-91).

“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pemimpin para pemberi syafaat, dan pemberi syafaat agung (di padang mahsyar), Nabi Adam ‘alaihis salam dan keturunannya kelak berada di bawah benderanya.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/86).

“Rasul pertama adalah Nabi Nuh ‘alaihis salam, dan rasul yang terakhir dan yang paling utama adalah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/143).

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan risalah kepada umatnya dengan sempurna dan menjelaskannya dengan sebaik-baiknya. Beliau adalah penasihat terbaik bagi para hamba Allah, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, berjihad dengan sebenar-benarnya di jalan Allah ta’ala, serta beribadah kepada Allah ta’ala hingga ajalnya tiba.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/21).

Syaikh menjelaskan bahwa sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Salah seorang dari kalian tidak dianggap beriman hingga aku lebih dia cintai daripada orang tua dan anak-anaknya serta seluruh manusia”, menunjukkan akan wajibnya mengedepankan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kecintaan kepada diri sendiri, keluarga dan harta bendanya. (Kitab at-Tauhid: hal. 108).


3. Beliau dituduh mengingkari syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikh menjawab tuduhan ini dengan berkata, “Mereka menuduh kami mengingkari syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Subhanallah! ini adalah kedustaan yang besar. Bahkan kami menjadikan Allah ta’ala sebagai saksi, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang diberi izin Allah ta’ala untuk memberikan syafaat dan pemilik syafaat agung (di padang mahsyar). Kami memohon kepada Allah Yang Maha Pemurah agar mengizinkan beliau untuk memberikan syafaatnya kepada kita, dan semoga Allah ta’ala mengumpulkan kita bersamanya kelak.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/63-64).

“Yang mengingkari adanya syafaat adalah ahlul bid’ah dan orang yang sesat. Akan tetapi syafa’at tersebut tidak akan bisa diraih kecuali setelah kita mendapatkan izin serta ridha dari Allah ta’ala. Sebagaimana firman-Nya,

وَلا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى

“Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (QS. Al-Anbiya’: 28)


Allah ta’ala juga berfirman.

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ

“Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa seizin dari-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255)

(Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/31).

Kemudian beliau menjelaskan sebab timbulnya tuduhan dusta tersebut, “Tatkala kusebutkan kepada mereka apa yang difirmankan Allah ta’ala, apa yang disabdakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta apa yang dijelaskan para ulama dari berbagai mazhab, tentang perintah untuk memurnikan ibadah untuk Allah ta’ala semata serta larangan untuk menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani yang menjadikan pendeta-pendeta dan rahib-rahib sebagai tuhan selain Allah ta’ala, mereka pun berkata, “Kamu telah melecehkan para nabi, orang-orang shalih dan para wali.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/50).


Poin Kedua: Tentang Ahlul Bait (Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Di antara tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada Syaikh: mereka mengatakan bahwa beliau membenci ahlul bait serta tidak memenuhi hak-hak mereka sebagaimana mestinya.Jawabannya: tuduhan tersebut tidak sesuai dengan fakta; karena kenyataannya beliau mengakui kedudukan mereka dan mencintai serta menghormati mereka, bahkan beliau mengingkari orang yang benci terhadap mereka, beliau berkata, “Allah ta’ala telah mewajibkan kepada umat ini untuk memenuhi hak-hak keluarga Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengabaikan hak-hak mereka, dengan prasangka bahwa hal itu adalah bagian dari tauhid. Keyakinan seperti itu termasuk dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Yang kami ingkari adalah model pemuliaan ahlul bait dengan cara meyakini bahwa dalam diri mereka terdapat sifat-sifat ketuhanan, juga aku mengingkari orang-orang yang menghormati oknum-oknum yang mendakwakan hal tersebut.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: V/284).

Siapapun yang membaca biografi beliau, niscaya dia akan mengetahui kebenaran apa yang diucapkannya. Cukuplah sebagai bukti akan kebenaran ucapan beliau; tatkala beliau menamai enam dari tujuh orang putra-putranya dengan nama-nama ahlul bait. Mereka adalah: Ali, Abdullah, Husain, Hasan, Ibrahim dan Fatimah. Ini merupakan salah satu bukti yang jelas tentang besarnya kecintaan beliau terhadap ahlul bait.


Poin Ketiga: Tentang Karamah Para Wali

Sebagian orang menyebarkan isu bahwa beliau mengingkari adanya karamah para wali. Perkataan beliau di berbagai pembahasan dalam kitab-kitabnya membuktikan dustanya tuduhan ini. Di antara ucapan beliau, “Aku meyakini keberadaan karamah para wali.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/32).

Sungguh mengherankan, bagaimana mungkin beliau dituduh demikian, padahal beliau adalah orang yang menyifati golongan yang mengingkari karamah para wali dengan sebutan ahlul bid’ah dan golongan sesat?! Beliau berkata, “Dan tiada yang mengingkari karamah para wali melainkan ahlul bid’ah dan golongan yang sesat.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: I/169).

Poin Keempat: Tentang Pengkafiran

Di antara tuduhan terbesar yang tersebar adalah: bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab beserta pengikutnya mengkafirkan kaum muslimin, dan meyakini bahwa nikah dengan mereka hukumnya tidak sah, kecuali jika menikah dengan orang yang sepaham dengannya atau orang yang hijrah kepadanya.

Beliau telah membantah tuduhan ini di berbagai bukunya, antara lain ucapannya, “Tuduhan bahwa aku telah mengkafirkan kaum muslimin adalah dusta besar yang diada-adakan orang yang memusuhiku; untuk menghalang-halangi orang dari agama ini. Maka aku katakan, “Maha suci Engkau (wahai Rabbku), ini adalah kedustaan yang besar.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, I/100).

“Bermacam-macam tuduhan telah dilontarkan kepada kami, fitnah pun makin menjadi-jadi, mereka mengerahkan pasukan berkuda dan pasukan berjalan kaki dari kalangan iblis untuk menyerang kami. Dan di antara kebohongan yang mereka sebarkan, adalah tuduhan bahwa aku mengkafirkan seluruh kaum muslimin kecuali pengikutku, dan nikah dengan mereka hukumnya tidak sah. Untuk menukil tuduhan tersebut saja orang yang berakal merasa malu, apalagi untuk mempercayainya. Bagaimana mungkin orang yang berakal memiliki keyakinan seperti itu? Apakah mungkin seorang muslim meyakini keyakinan demikian?. Aku berlepas diri dari tuduhan itu. Tuduhan itu tidaklah dilontarkan melainkan dari orang yang tidak waras dan linglung. Semoga Allah ta’ala memerangi orang-orang yang bermaksud jelek.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, I/80).

“Yang aku kafirkan adalah orang yang telah mengerti ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia menghinanya, menghalangi manusia darinya, serta memusuhi penganutnya. Inilah yang aku kafirkan, dan alhamdulillah kebanyakan umat ini tidaklah demikian keadaannya.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, I/73).


Poin Kelima: Tentang Pemikiran Khawarij

Sebagaian orang menuduh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab berpemikiran Khawarij, yaitu mengkafirkan orang yang berbuat maksiat. Beliau menjawab, “Aku tidak akan mengatakan tentang seorang pun dari kaum muslimin bahwa dia pasti masuk surga atau neraka, kecuali orang yang telah dipersaksikan demikian oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berharap semoga orang yang baik masuk surga, dan aku mengkhawatirkan orang yang berbuat jelek akan masuk neraka. Aku tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin, serta mengeluarkannya dari agama ini, hanya karena dia terjerumus ke suatu perbuatan dosa.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, I/32).


Poin Keenam: Tentang Menyifati Allah Ta’ala Dengan Sifat Tubuh, Seperti Tubuhnya Makhluk

Di antara isu-isu yang tersebar di publik, bahwasanya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mensifati Allah ta’ala dengan sifat tubuh, yakni menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Beliau telah menjelaskan keyakinannya dalam masalah ini, dan kenyataannya beliau amat jauh dari keyakinan batil di atas. Beliau berkata, “Termasuk bagian dari keimanan kepada Allah ta’ala adalah: mengimani sifat-sifat-Nya yang telah disebutkan dalam Kitab dan Sunnah, tanpa mengotori keimanan tersebut dengan tahrif (merubah lafaz maupun makna) dan ta’thil (pengingkaran secara total maupun parsial). Aku meyakini bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Aku tidak mengingkari sifat-sifat Allah yang disebutkan di dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Aku juga tidak menyelewengkan makna sifat-sifat tersebut, atau berupaya untuk mereka-reka keadaan serta bentuk yang hakiki dari sifat-sifat itu. Aku tidak menyerupakan sifat-sifat Allah ta’ala dengan sifat-sifat makhluk-Nya; karena tidak ada yang serupa dengan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya dan Dia tidak dianalogikan dengan para makhluk-Nya.

Sesungguhnya Allah ta’ala Maha Mengetahui Dzat-Nya serta makhluk-Nya juga Maha benar firman-Nya. Allah telah berlepas diri dari keyakinan-keyakinan golongan takyif (yang berupaya untuk mereka-reka keadaan serta bentuk yang hakiki dari sifat-sifat Allah), maupun golongan tamtsil (yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya). Juga Allah telah berlepas diri dari keyakinan-keyakinan golongan tahrif (yang merubah lafazh maupun makna sifat-sifat-Nya) maupun golongan ta’thil (yang mengingkari sifat-sifat-Nya secara total maupun parsial). Allah ta’ala berfirman,

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ. وَسَلامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ. وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ (الصافات:180-182)

“Maha suci Rabb-mu yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam”. (QS.Ash-Shafat: 180-182).” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, I/29).

“Sebagaimana telah maklum bahwa ta’thil (pengingkaran sifat-sifat Allah secara total maupun parsial) adalah lawan dari tajsim (menyifati Allah ta’ala dengan sifat jasmani seperti jasmani makhluk). Dua keyakinan ini saling bermusuhan. Dan keyakinan yang benar adalah sikap yang tengah di antara keduanya (yaitu: meyakini sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk-Nya).” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah, III/11).


Poin Ketujuh: Tentang Menyelisihi Pendapat Para Ulama

Sebagian orang mengatakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam dakwahnya telah menyelisihi para ulama, tidak menghiraukan perkataan mereka, tidak pula merujuk kepada kitab-kitab mereka. Bahkan beliau dituduh telah menciptakan ajaran baru dan membawa pemahaman madzhab yang kelima.

Sebaik-baik bantahan atas tuduhan ini adalah pengakuan beliau sendiri, “Aku adalah orang yang bertaqlid kepada Kitab dan Sunnah, serta para salafus salih. Aku juga bergantung dengan perkataan para imam madzhab yang empat; Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Semoga Allah merahmati mereka semua.” (Kitab Muallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: V/97).

“Seandainya kalian mendapatkan fatwaku menyelisihi ijma’ para ulama, maka tunjukkan padaku.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/53)

“Jika kalian mengira bahwa para ulama telah menyelisihi apa yang aku ajarkan, sesungguhnya di hadapan kalian ada kitab-kitab mereka, (bacalah dengan seksama dan bandingkan dengan apa yang kuajarkan).” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/58).

“Aku selalu membandingkan perkataan orang yang bermadzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali dengan perkataan ulama yang mu’tamad (terpercaya) dalam madzhab tersebut.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/82).

“Walhasil yang aku ingkari adalah pengkultusan terhadap selain Allah ta’ala. Maka jika ajaranku bersumber dari pendapatku sendiri, atau dari buku yang tidak tepercaya, atau semata-mata dari hasil taqlidku kepada para ulama mazhabku (mazhab Hambali); maka buanglah jauh-jauh ajaranku. Namun jika ajaranku bersumber dari Kitab dan Sunnah serta Ijma’ para ulama dari berbagai mazhab; maka tidak layak bagi orang yang beriman terhadap Allah ta’ala dan hari akhir, untuk menolaknya; hanya gara-gara kebanyakan orang di zamannya, atau di negerinya menyelisihi ajaran tersebut.” (Kitab ad-Durar as-Saniyah: I/76).

Penutup

Di penghujung tulisan ini, kami akan mempersembahkan nasihat yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab:

Nasehat pertama adalah untuk orang-orang yang memusuhi dakwah ini dan para pengikutnya, yang senantiasa berusaha untuk menghalanginya, serta melontarkan berbagai macam tuduhan batil kepadanya.

Beliau berkata, “Aku ingatkan orang-orang yang menyelisihiku: Seluruh manusia berkewajiban untuk mengikuti apa yang telah diwasiatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Bukankah kitab-kitab agama ada pada kalian? Bacalah! Janganlah kalian mengambil sedikitpun dari perkataanku! Namun jika kalian mendapatkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam kitab-kitab tersebut, maka amalkanlah! Meskipun kebanyakan manusia tidak mengamalkannya…

Jangan kalian menaatiku! Namun taatilah perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah disebutkan di dalam kitab-kitab kalian…

Ketahuilah bahwa tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian melainkan hanya berpegang teguh kepada tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hidup di dunia ini hanyalah sementara. Tidak pantas bagi orang yang berakal untuk melupakan surga dan neraka.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/89-90).

“Aku mengajak orang-orang yang menyelisihiku untuk berpegang dengan empat perkara: Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ijma’ para ulama. Jika kalian tetap keras kepala, maka aku mengajak kalian untuk mubahalah (masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat berdoa kepada Allah ta’ala dengan sungguh-sungguh, agar Allah ta’ala menjatuhkan laknat kepada pihak yang salah).” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/55).

Nasehat kedua adalah bagi orang yang sedang merasa bingung, tidak mengerti mana yang benar dan mana yang salah dalam perkara ini.

Syaikh berkata, “Mohonlah (petunjuk) dengan sungguh-sungguh kepada Allah ta’ala, dengan merendahkan diri kepada-Nya, terutama pada waktu-waktu yang mustajab; di antaranya pada waktu sepertiga malam yang terakhir, di akhir shalat, dan antara azan dengan iqamat.

Bacalah doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terutama yang tertera dalam hadits shahih. Seperti doa yang senantiasa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam

baca,

اللهم رب جبرائيل وميكائيل وإسرافيل, فاطر السماوات والأرض, عالم الغيب والشهادة, أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون, اهدني لما اختلف فيه من الحق بإذنك, إنك تهدي من تشاء إلى صراط مستقيم.

“Wahai Rabb Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Engkaulah yang memutuskan perselisihan di antara hamba-hamba-Mu. Dengan izin-Mu, tunjukkanlah kepadaku kebenaran yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Engkaulah yang menunjuki orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.”

Hendaknya engkau sering memanjatkan doa tersebut, kehadirat Dzat yang mengabulkan doa orang yang sedang tertimpa kesusahan. Dialah Yang menunjukkan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam kepada kebenaran, meskipun menyelisihi seluruh manusia pada zamannya. Ucapkan pula, “Wahai Dzat yang mengajari Nabi Ibrahim, ajarilah aku.”

Dan jika kamu merasa berat (ketika akan mengamalkan kebenaran) gara-gara menyelisihi masyarakatmu, maka renungkanlah firman Allah ta’ala,

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ. إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئاً وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَاللَّهُ وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ (الجاثـية: 18-19).

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sama sekali tidak akan dapat melindungimu dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang dzalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Jatsiyah: 18-19).

Juga firman Allah ta’ala,

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ (الأنعام:116)

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116)

Renungkanlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Islam pertama kali datang dianggap asing, dan (di akhir zaman) akan kembali dianggap asing.”

Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah ta’ala tidak mencabut ilmu dari muka bumi ini dengan begitu saja, akan tetapi mencabutnya dengan meninggalnya para ulama. Jika tiada lagi ulama di muka bumi, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemuka agama; sehingga mereka sendiri sesat dan menyesatkan.”

Begitu pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasidin sesudahku (Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib).”

Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan jauhilah hal-hal baru dalam agama (bid’ah), karena semua bid’ah dalam agama adalah sesat.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/42-43).

“Dan jika telah jelas bagimu bahwa inilah kebenaran, yang tidak ada keraguan lagi di dalamnya, maka wajib bagimu untuk menyampaikan kebenaran itu kepada umat manusia dan mengajarkannya kepada kaum muslimin dan muslimat.

Semoga Allah ta’ala merahmati orang yang menunaikan kewajibannya, bertaubat kepada-Nya, dan mengakui kesalahannya. Ketahuilah bahwa orang yang bertaubat dari suatu kesalahan, bagaikan orang yang tidak memiliki dosa.

Semoga Allah ta’ala menunjukkan kepada kami, kalian dan seluruh saudara-saudara kita jalan yang dicintai dan diridhai-Nya. Wassalam.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: II/43).

Shalawat, salam serta barakah Allah semoga tetap tercurahkan kepada hamba dan Rasul-Nya, Nabi kita dan kekasih kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta seluruh keluarga dan para sahabatnya.


Diambil dari Kitab Tashhihul Mafahimil Khoti’ati
Karya: Syaikh DR. Shalih bin Abdul Aziz As-Sindy
( Dosen Aqidah Universitas Islam Madinah )


Diterjemahkan oleh: Nur Kholis Kurdian, Lc.
(Dosen Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafii, Jember, Jawa Timur)

Dikoreksi ulang oleh: Abdullah Zaen, Lc. & Muhammad Yasir, Lc.

Artikel www.muslim.or.id

Islam itu Indah: Pandangan yang Benar tentang Jihad dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar



Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
Keindahan selanjutnya adalah ajaran jihad, perintah untuk melakukan semua yang ma’ruf, dan larangan dari semua yang mungkar dalam agama ini. Jihad yang dikandungnya sebenarnya dimaksudkan untuk menolak tindakan aniaya orang-orang zhalim terhadap hak-hak agama ini dan dakwahnya. Inilah jenis perjuangan yang paling afdhal di mana tidak dimaksudkan dengannya ambisi, tamak, atau keinginan-keinginan hawa nafsu lainnya.

Barangsiapa yang melihat kepada dalil-dalil pokok ini serta melihat sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dalam menyikapi musuhnya, maka ia akan tahu tanpa ragu sama sekali bahwa jihad masuk dalam persoalan darurat (hanya dilakukan jika sangat terpaksa) untuk menolak tindakan aniaya orang-orang yang melampaui batas.

Demikian halnya dengan amar ma’ruf dan nahi mungkar, ketika agama ini takkan stabil kecuali dengan keistiqamahan penganutnya dalam memegang ushul dan syariatnya, melakukan perintah-perintahnya yang merupakan puncak keharmonisan, meninggalkan larangan-larangannya yang merupakan keburukan dan kerusakan, dan juga agar hawa nafsu yang zhalim tidak menghias-hiasi atas mereka untuk nekat melakukan perbuatan haram, lalai dalam melaksanakan kewajiban yang telah ditetapkan, maka ditetapkan amar ma’ruf dan nahi mungkar yang akan menyempurnakan semuanya.

Inilah bagian terbesar dari keindahan agama Islam, hal yang sangat darurat untuk ditegakkan, sebagaimana padanya ada tindakan meluruskan penganutnya yang bengkok, pembersihan jiwa, dan cambukan bagi mereka dari melakukan perbuatan yang hina, serta membawa mereka untuk melakukan perbuatan mulia.

Adapun membiarkan saja mereka berbuat semaunya setelah mereka berpegang dengan agama Islam dan masuk dibawah hukum dan syariatnya, maka merupakan kezhaliman dan kemudharatan yang terbesar atas mereka sendiri juga atas masyarakat. Khususnya jika berbuat semaunya terhadap hak dan kewajiban yang dituntut oleh syara’, akal, dan adat.
Dinukil dari http://ulamasunnah.wordpress.com
Sumber: “Sungguh Islam itu Indah”
karya Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di
Penerjemah: Al Ustadz Fuad, Lc
Penerbit: Penerbit Al-Ilmu Jogjakarta.
www.penerbit.al-ilmu.com

Wahabi ?

Oleh: Ustadz DR. Ali Musri SP *


بسم الله الرحمن الرحيم

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسانٍ إلى يوم الدين.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

فإن أصدقَ الحديث كتاب الله وخيرَ الهدي هديُ محمد صلى الله عليه وسلم وشرَّ الأمور محدثاتها وكلَّ محدثة بدعة وكلَّ بدعة ضلالة وكلَّ ضلالة في النار، أما بعد ؛

Pertama dan utama sekali kita ucapkan puji syukur kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga pada kesempatan yang sangat berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam rangka menambah wawasan keagamaan kita sebagai salah satu bentuk aktivitas ‘ubudiyah kita kepada-Nya. Kemudian salawat beserta salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah bersusah payah memperjuangkan agama yang kita cintai ini, untuk demi tegaknya kalimat tauhid di permukaan bumi ini, begitu pula untuk para keluarga dan sahabat beliau beserta orang-orang yang setia berpegang teguh dengan ajaran beliau sampai hari kemudian.

Selanjutnya tak lupa ucapan terima kasih kami aturkan untuk para panitia yang telah memberi kesempatan dan mempercayakan kepada kami untuk berbicara di hadapan para hadirin semua pada kesempatan ini, serta telah menggagas untuk terlaksananya acara tabliq akbar ini dengan segala daya dan upaya semoga Allah menjadikan amalan mereka tercatat sebagai amal saleh di hari kiamat kelak, amiin ya Rabbal ‘alamiin.

Dalam kesempatan yang penuh berkah ini, panitia telah mempercayakan kepada kami untuk berbicara dengan topik: Apa Wahabi Itu?, semoga Allah memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kami dalam mengulas topik tersebut.

Pertanyaan yang amat singkat di atas membutuhkan jawaban yang cukup panjang, jawaban tersebut akan tersimpul dalam beberapa poin berikut ini:

  • Keadaan yang melatar belakangi munculnya tuduhan wahabi.
  • Kepada siapa ditujukan tuduhan wahabi tersebut diarahkan?.
  • Pokok-pokok landasan dakwah yang dicap sebagai wahabi.
  • Bukti kebohongan tuduhan wahabi terhadap dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
  • Ringkasan dan penutup.

Keadaan yang Melatar Belakangi Munculnya Tuduhan Wahabi

Para hadirin yang kami hormati, dengan melihat gambaran sekilas tentang keadaan Jazirah Arab serta negeri sekitarnya, kita akan tahu sebab munculnya tuduhan tersebut, sekaligus kita akan mengerti apa yang melatarbelakanginya. Yang ingin kita tinjau di sini adalah dari aspek politik dan keagamaan secara umum, aspek aqidah secara khusus.

Dari segi aspek politik Jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang terpecah-pecah, terlebih khusus daerah Nejd, perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.

Para penguasa hidup dengan memungut upeti dari rakyat jelata, jadi mereka sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat akan menggoyang kekuasaan mereka, begitu pula dari kalangan para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang aqidah dan agama dengan benar, dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang mencoba memberi pengertian kepada umat tentang aqidah atau agama yang benar.

Dari segi aspek agama, pada abad (12 H / 17 M) keadaan beragama umat Islam sudah sangat jauh menyimpang dari kemurnian Islam itu sendiri, terutama dalam aspek aqidah, banyak sekali di sana sini praktek-praktek syirik atau bid’ah, para ulama yang ada bukan berarti tidak mengingkari hal tersebut, tapi usaha mereka hanya sebatas lingkungan mereka saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang karena jumlah mereka yang begitu banyak di samping pengaruh kuat dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktek-praktek syirik dan bid’ah tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana keadaan seperti ini masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam, barangkali negara kita masih dalam proses ini, di mana aliran-aliran sesat dijadikan segi batu loncatan untuk mencapai pengaruh politik.

Pada saat itu di Nejd sebagai tempat kelahiran sang pengibar bendera tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat menonjol hal tersebut. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, bahwa di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Karena ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga praktek-praktek syirik terjadi di sana sini seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung dan peramal. Salah satu daerah di Nejd, namanya kampung Jubailiyah di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan melawan Musailamah Al Kadzab, manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah, untuk meminta berbagai hajat, begitu pula di kampung ‘Uyainah terdapat pula sebuah pohon yang diagungkan, para manusia juga mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum juga mendapatkan pasangan hidup meminta ke sana.

Adapun daerah Hijaz (Mekkah dan Madinah) sekalipun tersebarnya ilmu dikarenakan keberadaan dua kota suci yang selalu dikunjungi oleh para ulama dan penuntut ilmu. Di sini tersebar kebiasaan suka bersumpah dengan selain Allah, menembok serta membangun kubah-kubah di atas kuburan serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak mara bahaya dsb (lihat pembahasan ini dalam kitab Raudhatul Afkar karangan Ibnu Qhanim). Begitu pula halnya dengan negeri-negeri sekitar hijaz, apalagi negeri yang jauh dari dua kota suci tersebut, ditambah lagi kurangnya ulama, tentu akan lebih memprihatinkan lagi dari apa yang terjadi di Jazirah Arab.

Hal ini disebut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’: “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu, kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya, sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya.” Dalilnya firman Allah:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)

Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa mereka ketika berada dalam ancaman bencana yaitu tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan berhala atau sesembahan mereka baik dari orang sholeh, batu dan pepohonan, namun saat mereka telah selamat sampai di daratan mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang melakukan syirik dalam setiap saat.

Dalam keadaan seperti di atas Allah membuka sebab untuk kembalinya kaum muslimin kepada Agama yang benar, bersih dari kesyirikan dan bid’ah.

Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:

« إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا »

“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbaharui untuk umat ini agamanya.” (HR. Abu Daud no. 4291, Al Hakim no. 8592)

Pada abad (12 H / 17 M) lahirlah seorang pembaharu di negeri Nejd, yaitu: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Dari Kabilah Bani Tamim.

Yang pernah mendapat pujian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Bahwa mereka (yaitu Bani Tamim) adalah umatku yang terkuat dalam menentang Dajjal.” (HR. Bukhari no. 2405, Muslim no. 2525)

tepatnya tahun 1115 H di ‘Uyainah di salah satu perkampungan daerah Riyadh. Beliau lahir dalam lingkungan keluarga ulama, kakek dan bapak beliau merupakan ulama yang terkemuka di negeri Nejd, belum berumur sepuluh tahun beliau telah hafal al-Qur’an, ia memulai pertualangan ilmunya dari ayah kandungnya dan pamannya, dengan modal kecerdasan dan ditopang oleh semangat yang tinggi beliau berpetualang ke berbagai daerah tetangga untuk menuntut ilmu seperti daerah Basrah dan Hijaz, sebagaimana lazimnya kebiasaan para ulama dahulu yang mana mereka membekali diri mereka dengan ilmu yang matang sebelum turun ke medan dakwah.

Hal ini juga disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya Ushul Tsalatsah: “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya wajib atas kita untuk mengenal empat masalah; pertama Ilmu yaitu mengenal Allah, mengenal nabinya, mengenal agama Islam dengan dalil-dalil”. Kemudian beliau sebutkan dalil tentang pentingnya ilmu sebelum beramal dan berdakwah, beliau sebutkan ungkapan Imam Bukhari: “Bab berilmu sebelum berbicara dan beramal, dalilnya firman Allah yang berbunyi:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

“Ketahuilah sesungguhnya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosamu.” Maka dalam ayat ini Allah memulai dengan perintah ilmu sebelum berbicara dan beramal”.

Setelah beliau kembali dari pertualangan ilmu, beliau mulai berdakwah di kampung Huraimilak di mana ayah kandung beliau menjadi Qadhi (hakim). Selain berdakwah, beliau tetap menimba ilmu dari ayah beliau sendiri, setelah ayah beliau meninggal tahun 1153, beliau semakin gencar mendakwahkan tauhid, ternyata kondisi dan situasi di Huraimilak kurang menguntungkan untuk dakwah, selanjut beliau berpindah ke ‘Uyainah, ternyata penguasa ‘Uyainah saat itu memberikan dukungan dan bantuan untuk dakwah yang beliau bawa, namun akhirnya penguasa ‘Uyainah mendapat tekanan dari berbagai pihak, akhirnya beliau berpindah lagi dari ‘Uyainah ke Dir’iyah, ternyata masyarakat Dir’iyah telah banyak mendengar tentang dakwah beliau melalui murid-murid beliau, termasuk sebagian di antara murid beliau keluarga penguasa Dir’iyah, akhirnya timbul inisiatif dari sebagian dari murid beliau untuk memberi tahu pemimpin Dir’yah tentang kedatangan beliau, maka dengan rendah hati Muhammad bin Saud sebagai pemimpin Dir’iyah waktu itu mendatangi tempat di mana Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menumpang, maka di situ terjalinlah perjanjian yang penuh berkah bahwa di antara keduanya berjanji akan bekerja sama dalam menegakkan agama Allah. Dengan mendengar adanya perjanjian tersebut mulailah musuh-musuh Aqidah kebakaran jenggot, sehingga mereka berusaha dengan berbagai dalih untuk menjatuhkan kekuasaan Muhammad bin Saud, dan menyiksa orang-orang yang pro terhadap dakwah tauhid.

Kepada Siapa Dituduhkan Gelar Wahabi Tersebut

Karena hari demi hari dakwah tauhid semakin tersebar mereka para musuh dakwah tidak mampu lagi untuk melawan dengan kekuatan, maka mereka berpindah arah dengan memfitnah dan menyebarkan isu-isu bohong supaya mendapat dukungan dari pihak lain untuk menghambat laju dakwah tauhid tersebut. Diantar fitnah yang tersebar adalah sebutan wahabi untuk orang yang mengajak kepada tauhid. Sebagaimana lazimnya setiap penyeru kepada kebenaran pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan onak duri dalam menelapaki perjalanan dakwah.

Sebagaimana telah dijelaskan pula oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Kasyfus Syubuhaat: “Ketahuilah olehmu, bahwa sesungguhnya di antara hikmah Allah subhaanahu wa ta’ala, tidak diutus seorang nabi pun dengan tauhid ini, melainkan Allah menjadikan baginya musuh-musuh, sebagaimana firman Allah:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

“Demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh (yaitu) setan dari jenis manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada bagian yang lain perkataan indah sebagai tipuan.” (QS. al-An-’am: 112)

Bila kita membaca sejarah para nabi tidak seorang pun di antara mereka yang tidak menghadapi tantangan dari kaumnya, bahkan di antara mereka ada yang dibunuh, termasuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dari tanah kelahirannya, beliau dituduh sebagai orang gila, sebagai tukang sihir dan penyair, begitu pula pera ulama yang mengajak kepada ajarannya dalam sepanjang masa. Ada yang dibunuh, dipenjarakan, disiksa, dan sebagainya. Atau dituduh dengan tuduhan yang bukan-bukan untuk memojokkan mereka di hadapan manusia, supaya orang lari dari kebenaran yang mereka serukan.

Hal ini pula yang dihadapi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam lanjutan surat beliau kepada penduduk Qashim: “Kemudian tidak tersembunyi lagi atas kalian, saya mendengar bahwa surat Sulaiman bin Suhaim (seorang penentang dakwah tauhid) telah sampai kepada kalian, lalu sebagian di antara kalian ada yang percaya terhadap tuduhan-tuduhan bohong yang ia tulis, yang mana saya sendiri tidak pernah mengucapkannya, bahkan tidak pernah terlintas dalam ingatanku, seperti tuduhannya:

  • Bahwa saya mengingkari kitab-kitab mazhab yang empat.
  • Bahwa saya mengatakan bahwa manusia semenjak enam ratus tahun lalu sudah tidak lagi memiliki ilmu.
  • Bahwa saya mengaku sebagai mujtahid.
  • Bahwa saya mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara ulama adalah bencana.
  • Bahwa saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang saleh (yang masih hidup -ed).
  • Bahwa saya pernah berkata; jika saya mampu saya akan runtuhkan kubah yang ada di atas kuburan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Bahwa saya pernah berkata, jika saya mampu saya akan ganti pancuran ka’bah dengan pancuran kayu.
  • Bahwa saya mengharamkan ziarah kubur.
  • Bahwa saya mengkafirkan orang bersumpah dengan selain Allah.
  • Jawaban saya untuk tuduhan-tuduhan ini adalah: sesungguhnya ini semua adalah suatu kebohongan yang nyata. Lalu beliau tutup dengan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kalian tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan.” (QS. al-Hujuraat: 6) (baca jawaban untuk berbagai tuduhan di atas dalam kitab-kitab berikut, 1. Mas’ud an-Nadawy, Muhammad bin Abdul Wahab Muslih Mazlum, 2. Abdul Aziz Abdul Lathif, Da’awy Munaawi-iin li Dakwah Muhammad bin Abdil Wahab, 3. Sholeh Fauzan, Min A’laam Al Mujaddidiin, dan kitab lainnya)

Pokok-Pokok Landasan Dakwah yang Dicap Sebagai Wahabi

Pokok landasan dakwah yang utama sekali beliau tegakkan adalah pemurnian ajaran tauhid dari berbagai campuran syirik dan bid’ah, terutama dalam mengkultuskan para wali, dan kuburan mereka, hal ini akan nampak jelas bagi orang yang membaca kitab-kitab beliau, begitu pula surat-surat beliau (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kita Majmu’ Muallafaat Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3).

Dalam sebuah surat beliau kepada penduduk Qashim, beliau paparkan aqidah beliau dengan jelas dan gamblang, ringkasannya sebagaimana berikut: “Saya bersaksi kepada Allah dan kepada para malaikat yang hadir di sampingku serta kepada anda semua:

  • Saya bersaksi bahwa saya berkeyakinan sesuai dengan keyakinan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dari beriman kepada Allah dan kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, kepada hari berbangkit setelah mati, kepada takdir baik dan buruk.
  • Termasuk dalam beriman kepada Allah adalah beriman dengan sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya tanpa tahriif (mengubah pengertiannya) dan tidak pula ta’tiil (mengingkarinya). Saya berkeyakinan bahwa tiada satupun yang menyerupai-Nya. Dan Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk (Musabbihah atau Mujassimah))
  • Saya berkeyakinan bahwa al-Qur’an itu adalah kalamullah yang diturunkan, ia bukan makhluk, datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
  • Saya beriman bahwa Allah itu berbuat terhadap segala apa yang dikehendaki-Nya, tidak satupun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya, tiada satupun yang keluar dari kehendak-Nya.
  • Saya beriman dengan segala perkara yang diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang akan terjadi setelah mati, saya beriman dengan azab dan nikmat kubur, tentang akan dipertemukannya kembali antara ruh dan jasad, kemudian manusia dibangkit menghadap Sang Pencipta sekalian alam, dalam keadaan tanpa sandal dan pakaian, serta dalam keadaan tidak bekhitan, matahari sangat dekat dengan mereka, lalu amalan manusia akan ditimbang, serta catatan amalan mereka akan diberikan kepada masing-masing mereka, sebagian mengambilnya dengan tangan kanan dan sebagian yang lain dengan tangan kiri.
  • Saya beriman dengan telaga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Saya beriman dengan shirat (jembatan) yang terbentang di atas neraka Jahanam, manusia melewatinya sesuai dengan amalan mereka masing-masing.
  • Saya beriman dengan syafa’at Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Dia adalah orang pertama sekali memberi syafa’at, orang yang mengingkari syafa’at adalah termasuk pelaku bid’ah dan sesat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
  • Saya beriman dengan surga dan neraka, dan keduanya telah ada sekarang, serta keduanya tidak akan sirna.
  • Saya beriman bahwa orang mukmin akan melihat Allah dalam surga kelak.
  • Saya beriman bahwa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup segala nabi dan rasul, tidak sah iman seseorang sampai ia beriman dengan kenabiannya dan kerasulannya. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengaku sebagai nabi atau tidak memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. bahkan beliau mengarang sebuah kitab tentang sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan judul Mukhtashar sirah Ar Rasul, bukankah ini suatu bukti tentang kecintaan beliau kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.)
  • Saya mencintai para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para keluarga beliau, saya memuji mereka, dan mendoakan semoga Allah meridhai mereka, saya menutup mulut dari membicarakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi antara mereka.
  • Saya mengakui karamah para wali Allah, tetapi apa yang menjadi hak Allah tidak boleh diberikan kepada mereka, tidak boleh meminta kepada mereka sesuatu yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari karamah atau tidak menghormati para wali)
  • Saya tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan muslim yang melakukan dosa, dan tidak pula menguarkan mereka dari lingkaran Islam. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau mengkafirkan kaum muslimin, atau berfaham khawarij, baca juga Manhaj syeikh Muhammad bin Abdul Wahab fi masalah at takfiir, karangan Ahmad Ar Rudhaiman)
  • Saya berpandangan tentang wajibnya taat kepada para pemimpin kaum muslimin, baik yang berlaku adil maupun yang berbuat zalim, selama mereka tidak menyuruh kepada perbuatan maksiat. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menganut faham khawarij (teroris))
  • Saya berpandangan tentang wajibnya menjauhi para pelaku bid’ah, sampai ia bertaubat kepada Allah, saya menilai mereka secara lahir, adapun amalan hati mereka saya serahkan kepada Allah.
  • Saya berkeyakinan bahwa iman itu terdiri dari perkataan dengan lidah, perbuatan dengan anggota tubuh dan pengakuan dengan hati, ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Bukti Kebohongan Tuduhan Wahabi Tehadap Dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Dengan membandingkan antara tuduhan-tuduhan sebelumnya dengan aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kita sebutkan di atas, tentu dengan sendirinya kita akan mengetahui kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut.

Tuduhan-tuduhan bohong tersebut disebar luaskan oleh musuh dakwah Ahluss sunnah ke berbagai negeri Islam, sampai pada masa sekarang ini, masih banyak orang tertipu dengan kebohongan tersebut. sekalipun telah terbukti kebohongannya, bahkan seluruh karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah tuduhan tersebut.

Kita ambil contoh kecil saja dalam kitab beliau “Ushul Tsalatsah” kitab yang kecil sekali, tapi penuh dengan mutiara ilmu, beliau mulai dengan menyebutkan perkataan Imam Syafi’i, kemudian di pertengahannya beliau sebutkan perkataan Ibnu Katsir yang bermazhab syafi’i jika beliau tidak mencintai para imam mazhab yang empat atau hanya berpegang dengan mazhab Hambali saja, mana mungkin beliau akan menyebutkan perkataan mereka tersebut.

Bahkan beliau dalam salah satu surat beliau kepada salah seorang kepala suku di daerah Syam berkata: “Saya katakan kepada orang yang menentangku, sesungguhnya yang wajib atas manusia adalah mengikuti apa yang diwasiatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bacalah buku-buku yang terdapat pada kalian, jangan kalian ambil dari ucapanku sedikitpun, tetapi apabila kalian telah mengetahui perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam kitab kalian tersebut maka ikutilah, sekalipun kebanyakan manusia menentangnya.” (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kitab Majmu’ Muallafaat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3)

Dalam ungkapan beliau di atas jelas sekali bahwa beliau tidak mengajak manusia kepada pendapat beliau, tetapi mengajak untuk mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para ulama dari berbagai negeri Islam pun membantah tuduhan-tuduhan bohong tersebut setelah mereka melihat secara nyata dakwah yang beliau tegakkan, seperti dari daerah Yaman Imam Asy Syaukani dan Imam As Shan’any, dari India Syekh Mas’ud An-Nadawy, dari Irak Syaikh Muahmmad Syukri Al Alusy.

Syaikh Muhammad Syukri Al Alusy berkata setelah beliau menyebutkan berbagai tuduhan bohong yang disebar oleh musuh-musuh terhadap dakwah tauhid dan pengikutnya: “Seluruh tuduhan tersebut adalah kebohongan, fitnah dan dusta semata dari musuh-musuh mereka, dari golongan pelaku bid’ah dan kesesatan, bahkan kenyataannya seluruh perkataan dan perbuatan serta buku-buku mereka menyanggah tuduhan itu semua.” (al Alusy, Tarikh Nejd, hal: 40)

Begitu pula Syaikh Mas’ud An-Nadawy dari India berkata: “Sesungguhnya kebohongan yang amat nyata yang dituduhkan terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdu Wahhab adalah penamaannya dengan wahabi, tetapi orang-orang yang rakus berusaha mempolitisir nama tersebut sebagai agama di luar Islam, lalu Inggris dan turki serta Mesir bersatu untuk menjadikannya sebagai lambang yang menakutkan, yang mana setiap muncul kebangkitan Islam di berbagai negeri, lalu orang-orang Eropa melihat akan membahayakan mereka, mereka lalu menghubungkannya dengan wahabi, sekalipun keduanya saling bertentangan.” (Muhammad bin Abdul Wahab Mushlih Mazhluum, hal: 165)

Begitu pula Raja Abdul Aziz dalam sebuah pidato yang beliau sampaikan di kota Makkah di hadapan jamaah haji tgl 11 Mei 1929 M dengan judul “Inilah Aqidah Kami”: “Mereka menamakan kami sebagai orang-orang wahabi, mereka menamakan mazhab kami wahabi, dengan anggapan sebagai mazhab khusus, ini adalah kesalahan yang amat keji, muncul dari isu-isu bohong yang disebarkan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, dan kami bukanlah pengikut mazhab dan aqidah baru, Muhammad bin Abdul Wahab tidak membawa sesuatu yang baru, aqidah kami adalah aqidah salafus sholeh, yaitu yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang menjadi pegangan salafus sholeh. Kami memuliakan imam-imam yang empat, kami tidak membeda-bedakan antara imam-imam; Malik, Syafi’i , Ahmad dan Abu Hanifah, seluruh mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam pandangan kami, sekalipun kami dalam masalah fikih berpegang dengan mazhab hambaly.” (al Wajiz fi Sirah Malik Abdul Aziz, hal: 216)

Dari sini terbukti lagi kebohongan dan propaganda yang dibuat oleh musuh Islam dan musuh dakwah Ahlussunnah bahwa teroris diciptakan oleh wahabi. Karena seluruh buku-buku aqidah yang menjadi pegangan di kampus-kampus tidak pernah luput dari membongkar kesesatan teroris (Khawarij dan Mu’tazilah). Begitu pula tuduhan bahwa Mereka tidak menghormati para wali Allah atau dianggap membikin mazhab yang kelima. Pada kenyataannya semua buku-buku yang dipelajari dalam seluruh jenjang pendidikan adalah buku-buku para wali Allah dari berbagai mazhab. Pembicara sebutkan di sini buku-buku yang menjadi panduan di Universitas Islam Madinah.

  • Untuk mata kuliah Aqidah: kitab “Syarah Aqidah Thawiyah” karangan Ibnu Abdil ‘iz Al Hanafi, “Fathul Majiid” karangan Abdurahman bin Hasan Al hambaly. Ditambah sebagai penunjang, “Al Ibaanah karangan Imam Abu Hasan Al Asy’ari, “Al Hujjah” karangan Al Ashfahany Asy Syafi’i, “Asy Syari’ah” karangan Al Ajurry, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Khuzaimah, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Mandah, dll.
  • Untuk mata kuliyah Tafsir: Tafsir Ibnu Katsir Asy Syafi’i, Tafsir Asy Syaukany. Ditambah sebagai penunjang: Tafsir At Thobary, Tafsir Al Qurtuby Al Maliky, Tafsir Al Baghawy As Syafi’i, dan lainnya.
  • Untuk mata kuliyah Hadits: Kutub As Sittah beserta Syarahnya seperti: “Fathul Bary” karangan Ibnu Hajar Asy Syafi’i, “Syarah Shahih Muslim” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, dll.
  • Untuk mata kuliyah fikih: “Bidayatul Mujtahid” karangan Ibnu Rusy Al maliky, “Subulus Salam” karangan Ash Shan’any. Ditambah sebagai penunjang: “al Majmu’” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, kitab “Al Mughny” karangan Ibnu Qudamah Al Hambali, dll. Kalau ingin untuk melihat lebih dekat lagi tentang kitab-kitab yang menjadi panduan mahasiswa di Arab Saudi silakan berkunjung ke perpustakaan Universitas Islam Madinah atau perpustakaan mesjid Nabawi, di sana akan terbukti segala kebohongan dan propaganda yang dibikin oleh musuh Islam dan kelompok yang berseberangan dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tuduhan teroris dan wahabi.

Selanjutnya kami mengajak para hadirin semua apabila mendengar tuduhan jelek tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, atau membaca buku yang menyebarkan tuduhan jelek tersebut, maka sebaiknya ia meneliti langsung dari buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau buku-buku ulama yang seaqidah dengannya, supaya ia mengetahui tentang kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut, sebagaimana perintah Allah kepada kita:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bila seorang fasik datang kepadamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kamu tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan, sehingga kamu menjadi menyesal terhadap apa yang kamu lakukan.”

Karena buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bisa didapatkan dengan sangat mudah terlebih-lebih pada musim haji dibagikan secara gratis, di situ akan terbukti bahwa beliau tidak mengajak kepada mazhab baru atau kepercayaan baru yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun semata-mata ia mengajak untuk beramal sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, sesuai dengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, meneladani Rasulullah dan para sahabatnya serta generasi terkemuka umat ini, serta menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat.

Ringkasan Dan Penutup

Ringkasan:

  • Seorang da’i hendaklah membekali dirinya dengan ilmu yang cukup sebelum terjun ke medan dakwah.
  • Seorang da’i hendaklah memulai dakwah dari tauhid, bukan kepada politik, selama umat tidak beraqidah benar selama itu pula politik tidak akan stabil.
  • Seorang da’i hendaklah sabar dalam menghadapi berbagai rintangan dan tantang dalam menegakkan dakwah.
  • Seorang da’i yang ikhlas dalam dakwahnya harus yakin dengan pertolongan Allah, bahwa Allah pasti akan menolong orang yang menolong agama-Nya.
  • Tuduhan wahabi adalah tuduhan yang datang dari musuh dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan tujuan untuk menghalangi orang dari mengikuti dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
  • Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah sebagai pembawa aliran baru atau ajaran baru, tetapi seorang yang berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
  • Perlunya ketelitian dalam membaca atau mendengar sebuah isu atau tuduhan jelek terhadap seseorang atau suatu kelompok, terutama merujuk pemikiran seseorang tersebut melalui tulisan atau karangannya sendiri untuk pembuktian berbagai tuduhan dan isu yang tersebar tersebut.

Penutup

Sebagai penutup kami mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini, semua itu adalah karena keterbatasan ilmu yang kami miliki, semoga apa yang kami sampaikan ini bermanfaat bagi kami sendiri dan bagi hadirin semua, semoga Allah memperlihatkan kepada kita yang benar itu adalah benar, kemudian menuntun kita untuk mengikuti kebenaran itu, dan memperlihatkan kepada kita yang salah itu adalah salah, dan menjauhkan kita dari mengikuti yang salah itu.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت وأستغفرك وأتوب إليك.

*) Penulis adalah Rektor Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafii, Jember, Jawa Timur

Disampaikan dalam tabligh Akbar 21 Juli 2005 di kota Jeddah, Saudi Arabia

Oleh: Ustadz DR. Ali Musri SP *
Artikel www.muslim.or.id